Kepulan asap kopi menemani senyap kala itu, dengan tatap penuh semangat masing-masing sampaikan pendapatnya. Tak ada lontaran menyakitkan dan menyalahkan, apalagi hingga beradu otot satu sama lainnya. Jiwa mereka telah berpadu, sepadu dalam keberanian dan kesucian sang saka.
Hingga pada suatu kesimpulan pencapaian misi ini harus segera dilaksanakan...................
Tanpa kembang api dan makanan mewah, semalam begitu semarak dan ramai dalam jiwa-jiwa yang rindukan kebebasan. Saat mentari menyemburat di timur, tak sabar langkah-langkah gegap itu menuju pegangsaan. Dua orang separuh baya menatap keheranan akan kedatangan para pemuda. Kabar menyerahnya penjajah Jepang 2 hari yang lalu telah mereka dengar, lantas apa yang akan para pemuda ini sampaikan.
Sosok dengan peci hitam memalingkan muka pada seseorang berkaca mata disebelahnya. Keraguan sangat tampak di wajah mereka, tapi keinginan para pemuda ini terliat nyata dan menggebu. Hati kedua lelaki paruh baya tersebut dilingkupi keraguan, karena penjajah memiliki kekuatan yang sangat kuat dan sulit untuk di tembus. Apalagi misi yang ditawarkan para pemuda itu tidaklah main-main. Perjuangan bangsa ini saja melawan penjajah sudah ratusan tahun, dan misi ini akan dilaksanakan secepat itu. Para pemuda tetap mendesak, karena mereka rasa saat itulah penjajah berada pada titik terlemah akibat diguncang bom di dua kota besar mereka. Pagi itu ternyata perdebatan tak mendapat titik temu. Para pemuda tetepa dengan semangat menggebu mereka inginkan pelaksanaan misi itu saat itu juga, tapi dua lelaki paruh baya tersebut masih saja ragu dan beralasan perlu sekali ada rapat antara peserta PPKI yang lain.
Untuk menghindari ketegangan yang belarut para pemuda tersebut akhirnya memilih untuk meninggalkan peganggsaan dan kembali berkumpul untuk pikirkan solusi yang terbaik. Akhirnya dipilihlah tindakan yang lebih ekstrim, bahwa kedua lelaki paruh baya tersebut harus dibawa ke tempat yang lebih netral, agar pelaksanaan misi tidak lagi ditunda-tunda. Dipilihlah Rengasdengklok sebuah kota kecil yang pada akhirnya mengenang kobaran semangat para pemuda ini.
Waktu sudah begitu larut ketika mereka berhasil mebawa kedua tokoh tersebut ke Rengasdengklok. Pembicaran penuh perdebatan kembali terjadi, masing-masing memiliki argument yang sama kuatnya. Tapi seakan kelebihan energy para pemuda meyakinkan bahwa misi itu sangat tepat lebih cepat untuk dilaksanakan, tak anyal semangat ini pun akhirnya menggoyahkan keraguan kedua lelaki paruh baya tersebut. Hingga pada akhirnya pria berpeci hitam mengambil selembar kertas dan bersuara “Ayo kita lakukan dengan memulai merumuskan ungkapan proklamasi dan esok tidak ada lagi keraguan untuk melaksanakan misi ini”. Senyum mulai mengembang diantara para pemuda, angin yang seharusnya dingin malam itu menghangat seirama jantung dalam memompa darah ke setiap pembuluhnya.
Tidak ada lagi waktu untuk berpangku tangan semuanya harus dipersiapkan. Kedua lelaki berparuh baya tersebut akhirnya diizinkan kembali oleh para pemuda untuk kembali ke ibukota. Seorang laksamana Jepang yang menaruh simpati kepada perjuangan bangsa ini, menawarkan rumahnya untuk digunakan dalam mempersiapkan perumusan naskah. Tak ayal hal tersebut sangat membantu dan tidak beberapa lama rumusan teks naskah proklamasi berhasil dirumuskan. Naskah yang ditulis oleh pria berpeci yang penuh wibawa, segera dibacakan dihadapan para pemuda. Kumandang kalimah takbir dan merdeka memburu setelahnya. Naskah pun segera diketik, seorang pemuda yang cerdas dan bersahaja diberi kesempatan ini.
Semua tersenyum,,,,, tak sabar menunggu karena beberapa detik lagi cita-cita kemerdekaan akan segera diraih….
Mentari belum sempurna menampakkan sinarnya, saat seseorang melangkahkan kakinya kembali ke rumah. Semalam merupakan kejadian yang luar biasa baginya. Walau lelah karena tak memejamkan mata semalaman, tapi gunungan kegembiran tampak di wajahnya. Pegangsaan masih sepi, para pemuda telah lama menyebar untuk memberitahukan bahwa capaian cita-cita bangsa akan segera diproklamirkan.
Seorang wanita bermata teduh menyambutnya dengan senyum, tak ada kalimat kata-kata sebal karena tempat tidurnya hanya ia tempati sendirian semalam. Dikecup tangan laki-laki berkopiah itu dengan takjim, dan bersambut dengan kecupan di keningnya. Sambil melepaskan kopiah hitamnya ia berujar “Dinda, kemerdekaan segera diproklamirkan sebentar lagi semua orang menuju rumah kita”, senyum itu kembali mengembang di wajah perempuan teguh itu kali ini dia mantap berkata “Suamiku, akan kupersiapkan bendera merah putih sebagai rasa syukurku akan segera tercapainya cita-cita besar ini”. Betapa sangat sempurnanya pagi itu bagi mereka berdua.
Matahari semakin bersinar, lelaki berkopiah itu telah siap depan halaman rumahnya. Begitupun dengan para pemuda sudah mulai ramai mempersiapkan semuanya, tidak ketinggalan para tokoh pun hadir tak ingin luput dari peristiwa bersejarah ini. Tiang dipancangkan, rakyat dan para pemuda melebur dalam sebuah barisan sederhana yang rapi. Seorang pemuda mulai berbisik pada lelaki berkopiah “ Hari semakin siang, sekaranglah saatnya”, dengan teguh lelaki berkopiah itu tetap tak bergeming “Kita masih menunggu seorang lagi, tak akan mulai kubacakan proklamasi ini tanpanya” ujarnya. Kepanikan kembali hadir pada jiwa pemuda, tidak boleh ada lagi keraguan. Para tokoh masyarakat yang hadir pun sudah mulai berbisik satu sama lain, rakyat dan para pemuda yang berbaris mulai resah menunggu. Hingga akhirnya tampak dikejauhan sosok lelaki berkaca mata muncul dengan senyum bijaknya. Kepanikan pun meleleh, kata MERDEKA kembali diteriakkan.
“Berdirilah disampingku sobat, tak akan lengkap peristiwa bersejarah ini dilalui tanpa kehadiranmu” , dengan senyum lelaki berkopiah itu berujar sambil bersalaman pada sosok berkaca mata yang disambut anggukan kepalanya. Naskah pun dibuka, semua hadirin tenang menatap dan mendengar dengan semangat, bahagia dan haru menjalar di jiwa mereka. Bahkan tidak sedikit yang menitikan air mata dengan sunggingan senyum di bibirnya. Proklamasi selesai dibacakan, seorang wanita membawa sang saka di tangannya, tiga orang pemuda menyambut dan segera mengibarkannya, secara serentak lagu Indonesia raya pun dilantukan tanpa iringan orchestra. Hingga sang saka terkibar pada tiang tertinggi , berakhir pula lantunan lagu kebangsaan, berganti peluk, salam dan teriakan kemerdekaan. Semunya bahagia titik perjuangan pergerakan kemerdekaan telah mencapai puncaknya.
Note :
Saat itu bertepatan dengan bulan penuh rahmat hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 tepat pukul 10.00 WIB di Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Ir. Soekarno didampingi Drs. Moh. Hatta dan dilanjutkan dengan pengibaran bendera merah putih oleh S. Suhud dan Cudanco Latief Hendradiningrat.
The end……
(Author: Suci Siti Latifah)
E-mail address:
- sucilathifah@yahoo.co.id
- cici.lathifah@yahoo.com
Phone Number:
08568234023
Face Book:
Suci Latief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar